Sunday 21 December 2014

Rumah Adat, Pakaian Adat dan Alat Musik Jawa Tengah




Artikel ini diambil dari berbagai sumber artikel-artikel yang ada di internet, dengan harapan artikel ini mempunyai cakupan yang luas dan memudahkan pembaca yang menginginkan pengetahuan dari Rumah Adat, Pakaian Adat dan Alat Musik dari daerah Jawa Tengah.

Rumah Adat, Pakaian Adat dan Alat Musik Tradisional Jawa Tengah

Rumah Adat

Gambar Rumah Adat Jawa Tengah (joglo)

Rumah adat dari masyarakat Jawa Tengah disebut Joglo, Joglo juga bisa dijadikan acuan untuk menakar status sosial seseorang. Meski diakui sebagai rumah adat Jawa Tengah, tapi tidak semua rakyat atau masyarakat Jawa Tengah memiliki rumah ini. Mengapa? Sebab meski tampilannya cukup sederhana, namun kerumitan bahan baku serta pembuatan menjadikan proses pembangunan Joglo memakan biaya juga waktu yang melimpah. Dahulu, hanya kalangan priyayi dan bangsawan yang memiliki rumah apin ini. Kini, mereka yang bukan bangsawan tapi berduit bisa saja membangun rumah elegan dan klasik tersebut. 
joglo dibagi menjadi 6 bagian yaitu :
  1. pendapa.
  2. pringgitan.
  3. dalem.
  4. sentong.(kamar)
  5. gandok tengen.
  6. gandok kiwo.
Bagian pendapa adalah bagian paling depan Joglo yang mempunyai ruangan luas tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan sebagai tempat pertemuan untuk acara besar bagi penghuninya. Seperti acara pagelaran wayang kulit, tari, gamelan dan yang lain. Pada waktu ada acara syukuran biasanya sebagai tempat tamu besar. Pendopo biasanya terdapat soko guru, soko pengerek, dan tumpang sari.
Bagian Pringgitan adalah bagian penghubung antara pendopo dan rumah dalem. Bagian ini dengan pendopo biasanya di batasi dengan seketsel dan dengan dalem dibatasi dengan gebyok. Fungsi bagian pringgitan biasanya sebagai ruang tamu.
Bagian Dalem adalah bagian tempat bersantai keluarga. Bagian ruangan yang bersifat lebih privasi.
Sentong
Sentong adalah ruangan khusus istirahat, atau bahasa modern nya adalah kamar. Ada sentong kiri yang berarti kamar sebelah kiri, ada sentong tengah dan ada pula sentong kanan. Sentong bagian ruang privasi keluarga.
Gandok
Merupakan sebuah ruangan khusus untuk alat penyimpanan bahan atau benda. Gandok yang kita denganr juga ada di kantor camat, fungsi sebenarnya adalah tempat penyimpanan bahan makanan, atau bisa untuk penyimpanan alat-alat pertanian. Namun untuk sekarang, gandok dijadikan tempat museum.

Jenis Joglo

  1. Joglo Limasan Lawakan (atau “Joglo Lawakan”).
  2. Joglo Sinom
  3. Joglo Jompongan
  4. Joglo Pangrawit
  5. Joglo Mangkurat
  6. Joglo Hageng
  7. Joglo Semar Tinandhu
  8. Joglo Kudus
  9. Joglo Jepara
  10. Joglo Pati
Ilmu yang mempelajari seni bangunan oleh masyarakat Jawa biasa disebut Ilmu Kalang atau disebut juga Wong Kalang
Berdasarkan sejarah panjang tanah Jawa, bentuk rumah tinggal orang jawa dapat dikategorikan menjadi 5 macam, ini untuk arsitektur tradisonal yaitu:
*bentuk Panggangpe = bangunan hanya dengan atap sebelah sisi.
*bentuk Kampung = bangunan dengan atap 2 belah sisi, sebuah bubungan di tengah saja.
*bentuk Limasan = bangunan dengan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
*bentuk Joglo atau Tikelan = bangunan dengan Soko Guru dan atap 4 belah sisi, sebuah bubungan di tengahnya.
*Tajug = bangunan dengan Soko Guru atap 4 belah sisi, tanpa bubungan, jadi meruncing.
Dibanding bentuk lainnya, rumah joglo lebih familier untuk masyarakat pada umumnya.
dari 5 macam kategori tersebut berfungsi untuk membedakan bentuk, ukuran dan fungsi dari bangunan tersebut. Jadi tidak mungkin orang jawa membangun rumah tinggalnya berbentuk Tajug, karena bentuk Tajug hanya digunakan untuk bangunan yang disucikan semisal bangunan Masjid, tahtah Raja atau Makam orang yang disucikan.
Untuk penerapan bentuk bangunan rumah tradisional Jawa tengah secara lengkap dapat di lihat dari:
Pintu gerbang biasa menggunakan bentuk kampung
Tempat tinggal atau biasa disebut pendopo menggunakan bentuk joglo
Pringgitan berbentuk limasan
Di daerah bagian pesisir bentuk rumah mengalami modifikasi sedikit dengan penggunaan kaki atau rumah yang tidak menempel tanah alias mempunyai kolong, ini diperuntukkan untuk jaga-jaga jika laut pasang atau banjir.

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa desain Rumah Adat jawa tengah kuno mampu menahan gempa dalam skala yang besar, ini menunjakankan bahwa masyarakan Jawa Tengah cerdas dan mampu membuat rumah yang aman dan nyaman, sebagian besar rumah adat ini menggunakan bahan kayu jati.


PAKAIAN ADAT JAWA TENGAH

Pakaian Adat Jawa Tengah dan Perlengkapan

pakaian-adat-Jawa-Tengah-pakaian-tradisional-Jawa-Tengah-baju-adat-Jawa-Tengah
Adat jawa sangat melekat di Indonesia,khususnya suku jawa. Pada acara tertetu suku jawa tak luput dari adat mereka. Begitu juga dengan pakaian adatnya.Saat acara-acara tertentu adat istiadat jawa harus memenuhi persyaratan adat yang akan di laksanakan.Berikut melody akan membahas tentang pakaian adat jawa tengah yang di pakai pada saat acar-acara tertentu.Baik sejarah asal-usul atau asal mula baju adat Jawa Tengah, kelengkapan apa saja yang di pakai (kostum). Dan bagaimana kostum pernikahan adat Jawa Tengah.
Jenis busana dan kelengkapannya yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah adalah baju kebaya, kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.
Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.
Dewasa ini, baju kebaya pada umumnya hanya dipakai pada hari-hari tertentu saja, seperti pada upacara adat misalnya. Baju kebaya di sini adalah berupa blus berlengan panjang yang dipakai di luar kain panjang bercorak atau sarung yang menutupi bagian bawah dari badan (dari mata kaki sampai pinggang). Panjangnya kebaya bervariasi, mulai dari yang berukuran di sekitar pinggul atas sampai dengan ukuran yang di atas lutut. Oleh karena itu, wanita Jawa mengenal dua macam kebaya, yaitu kebaya pendek yang berukuran sampai pinggul dan kebaya panjang yang berukuran sampai ke lutut.
Kebaya pendek dapat dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos dengan salah satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun yang berbunga atau bersulam. Saat ini, kebaya pendek dapat dibuat dari bahan sutera, kain sunduri (brocade), nilon, lurik atau bahan-bahan sintetis. Sedangkan, kebaya panjang lebih banyak menggunakan bahan beludru, brokat, sutera yang berbunga maupun nilon yang bersulam. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung.
Baju kebaya dipakai dengan kain sinjang jarik/ tapih dimana pada bagian depan sebelah kiri dibuat wiron (lipatan) yang dililitkan dari kiri ke kanan. Untuk menutupi stagen digunakan selendang pelangi dari tenun ikat celup yang berwarna cerah. Selendang yang dipakai tersebut sebaiknya terbuat dari batik, kain lurik yang serasi atau kain ikat celup. Selain kain lurik, dapat juga memakai kain gabardine yang bercorak kotak-kotak halus dengan kombinasi warna sebagai berikut: hijau tua dengan hitam, ungu dengan hitam, biru sedang dengan hitam, kuning tua dengan hitam dan merah bata dengan hitam. Kelengkapan perhiasannya dapat dipakai yang sederhana berupa subang kecil dengan kalung dan liontin yang serasi, cincin, gelang dan sepasang tusuk konde pada sanggul.
Baju kebaya panjang biasanya menggunakan bahan beludru, brokat, sutera maupun nilon yang bersulam. Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Dan umumnya digunakan juga oleh mempelai wanita Sunda, Bali dan Madura. Panjang baju kebaya ini sampai ke lutut, dapat pula memakai tambahan bahan di bagian muka akan tetapi tidak berlengkung leher (krah). Pada umumnya kebaya panjang terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.
Mengenai teknik dan cara membuat baju kebaya sangat sederhana. Potongan dan model kebaya Jawa, yang juga dipakai di Sumatera Selatan, daerah pantai Kalimantan, Kepulauan Sumbawa, dan Timor sebenarnya serupa dengan blus. Baju ini terdiri dari dua helai potongan, yaitu sehelai bagian depan dan sehelai lagi potongan bagian belakang, serta dua buah lengan baju. Modelnya dapat ditambah dengan sepotong bahan berbentuk persegi panjang yang dipakai sebagai penyambung antara kedua potongan bagian muka.
Pada bagian badan kebaya dipotong sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan krup. Ini dimaksudkan agar benar-benar membentuk badan pada bagian pinggang dan payudara dan sedikit melebar pada bagian pinggul. Sedangkan, lipatan bawah bagian belakang dan samping harus sama lebarnya dan menuju ke bagian depan dengan agak meruncing. Lengkung leher baju menjadi satu dengan bagian depan kebaya. Lengkung ini harus cukup lebar sehingga dapat dilipat ke dalam untuk vuring kemudian dilipat lagi keluar untuk membentuk lengkung leher. Semua potongan tersebut dapatdikerjakan dengan mesin jahit ataupun dijahit dengan tangan.
Sedangkan busana di kalangan pria, khususnya kerabat keraton adalah memakai memakai baju
beskap kembang-kembang atau motif bunga lainnya, pada kepala memakai destar (blankon), kain samping jarik, stagen untuk mengikat kain samping, keris dan alas kaki (cemila). Busana ini dinamakan Jawi Jangkep, yaitu busana pria Jawa secara lengkap dengan keris.
Meskipun seni busana berkembang baik di lingkungan keraton, tidak berarti busana di lingkungan rakyat biasa tidak ada yang khas. Busana adat tradisional rakyat biasa banyak digunakan oleh petani di desa. Busana yang dipakai adalah celana kolor warna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar, ikat kepala dan kalau sore pakai sarung. Namun pada saat upacara perkawinan, bagi orang tua mempelai biasanya mereka memakai kain jarik dan sabuk sindur. Bajunya beskap atau sikepan dan pada bagian kepala memakai destar.
Busana Basahan
Salah satu jenis busana adat yang terindah dan terlengkap di Indonesia terdapat di keraton Surakarta, Jawa Tengah. Sebab, tiap-tiap jenis busana tersebut menunjukkan tahapan-tahapan tertentu dan siapa si pemakaiannya. Dalam adat busana perkawinan misalnya, seorang wanita dan pria kalangan keraton mengenakan beberapa jenis busana, yang disesuaikan dengan tahapan upacara, yaitu midodareni, ijab, panggih dan sesudah upacara panggih. Pada upacara midodareni, pengantin wanita memakai busana kejawen dengan warna sawitan. Busana sawitan terdiri dari kebaya lengan panjang, stagen dan kain jarik dengan corak batik. Sedangkan pengantin prianya memakai busana cara Jawi Jangkep, yang terdiri dari baju atela, udeng, sikepan, sabuk timang, kain jarik, keris dan selop.
Saat upacara ijab, busana yang dipakai pengantin wanita adalah baju kebaya dan kain jarik, sedangkan pengantin pria memakai busana basahan. Busana basahan pengantin pria disini terdiri dari kuluk matak petak, dodot bangun tulak, stagen, sabuk lengkap dengan timang dan cinde, celana panjang warna putih, keris warangka ladrang dan selop.
Begitu pula pada upacara panggih kedua mempelai memakai jenis busana yang sudah ditetapkan. Pengantin wanita memakai busana adat bersama, basahan. Busana basahan adalah tidak memakai baju, melainkan terdiri dari semekan atau kemben, dodot bangun tulak atau kampuh, sampur atau selendang sekar cinde abrit dan kain jarik cinde sekar merah. Semekan atau kemben terbuat dari kain batik dengan corak alas-alasan warna dasar hijau atau biru dengan hiasan kuning emas atau putih. Kemben disini berfungsi sebagai pengganti baju dan pelengkap untuk menutupi payudara. Kain dodot yang menggunakan corak batik alas-alasan panjangnya kira-kira 4-5 meter, dan merupakan baju pokok dalam busana basahan. Selendang cinde sekar abrit terbuat dari kain warna dasar merah dengan corak bunga hitam dan kain jarik cinde sekar abrit terbuat dari kain gloyar, warna dasar merah yang dihiasi bunga berwarna hitam dan putih. Cara mengenakan kain ini seperti kain jarik tetapi tidak ada lipatan (wiron). Sama halnya dengan pengantin wanita, pengatin pria pun memakai busana adat basahan, berupa dodot bangun tulak, terdiri dari kuluk matak biru muda, stagen, sabuk timang, epek, dodot bangun tulak, celana cinde sekar abrit, keris warangka ladrang, kolong karis, selop dan perhiasan kalung ulur.
Pada upacara panggih ini, biasanya kedua mempelai pengantin melengkapi busana basahan dengan aneka perhiasan. Perhiasan yang biasa digunakan oleh mempelai pria adalah kalung ulur, timang/epek, cincin, bros dan buntal. Sedangkan bagi pengantin wanita, perhiasan yang biasa dipakai adalah cunduk mentul, jungkat, centung, kalung, gelang, cincin, bros, subang dan timang atau epek.
Berbeda dengan tahapan upacara sebelumnya, pada upacara setelah panggih, pengantin wanita memakai busana kanigaran, yaitu terdiri dari baju kebaya, kain jarik, stagen dan selop. Sedangkan pengantin pria menggunakan busana kepangeranan, yang terdiri dari kuluk kanigoro, stagen, baju takwo, sabuk timang, kain jarik, keris warangka ladrang dan selop.
Sebagai kelengkapan, dalam busana adat perkawinan, maka baik pengantin wanita maupun pria biasanya dirias pada bagian wajah dan sanggul. Tujuannya adalah agar mempelai wanita kelihatan lebih cantik dan angun dan pengantin pria lebih gagah dan tampan. Bagi pengantin pria, cara meriasnya tidak sedemikian rumit dan teliti sebagaimana pengantin wanita yang harus dirias pada bagian wajahnya mulai dari muka, mata, alis, pipi dan bibir.
Busana Jawa baik pakaian sehari-hari maupun pakaian upacara sangat kaya akan ragam hias yang tak jarang memiliki makna simbolik dibaliknya. Jenis ragam hias yang dikenal di daerah Surakarta maupun Jogyakarta adalah kain yang bermotifkan tematema geometris, swastika (misalnya bintang dan matahari), hewan (misal : burung, ular, kerbau, naga), tumbuh-tumbuhan (bunga teratai, melati) maupun alam dan manusia. Motif geometris diantaranya adalah kain batik yang bercorak ikal, pilin, ikal rangkap dan pilin ganda. Motif berupa garis-garis potong yang disebut motif tangga merupakan simbolisasi dari nenek moyang naik tangga sedang menuju surga. Bahkan motif yang paling dikenal oleh masyarakat Surakarta adalah motif tumpal berbentuk segi tiga yang disebut untu walang, yang melambangkan kesuburan.
Pada busana-busana khusus untuk upacara perkawinan dikenal juga motif pada batik tulis, seperti kain sindur dan truntum yang dipakai oleh orang tua mempelai. Sedangkan kain sido mukti, kain sido luhur dan sido mulyo merupakan pakaian mempelai.
Fungsi pakaian, awalnya digunakan sebagai alat untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun panas. Kemudian fungsi pakaian menjadi lebih beragam, misalnya untuk menutup aurat, sebagai unsur pelengkap upacara yang menyandang nilai tertentu, maupun sebagai alat pemenuhan kebutuhan akan keindahan.
Pada masyarakat di Jawa Tengah, khususnya di Surakarta fungsi pakaian cukup beragam, seperti pada masyarakat bangsawan pakaian mempunyai fungsi praktis, estetis, religius, sosial dan simbolik. Seperti kain kebaya fungsi praktisnya adalah untuk menjaga kehangatan dan kesehatan badan; fungsi estetis, yakni menghias tubuh agar kelihatan lebih cantik dan menarik; fungsi sosial yakni belajar menjaga kehormatan diri seorang wanita agar tidak mudah menyerahkan kewanitaannya dengan cara berpakaian serapat dan serapi mungkin, serta memakai stagen sekuat mungkin agar tidak mudah lepas.

Alat Musik Tradisional jawa tengah
Angklung
Alat Musik







Angklung adalah alat musik yang terbuat dari ruas-ruas bambu, cara memainkannya digoyangkan serta digetarkan oleh tangan, alat musik ini telah lama dikenal di beberapa daerah di Indonesia, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Sejarah Angklung sangat erat kaitannya dengan seni karawitan sebagai media upacara penghubung antara manusia dan Tuhannya, Yang Maha Kuasa.
Bukti tertulis penggunaan Angklung tertua yang ditemukan terdapat pada prasasti Cibadak bertahun 952 Saka atau 1031 SM, di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Pada prasasti tersebut, diterangkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati, menggunakan seni Angklung dalam upacara keagamaannya. Kita juga dapat menemukan bukti lain dalam buku Nagara Kartagama tahun 1359, yang menerangkan penggunaan Angklung sebagai media hiburan dalam pesta penyambutan kerajaan. Kata Angklung diambil dari cara alat musik tersebut dimainkan. Kata Angklung berasal dari Bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain Angklung dan suara “klung” yang dihasilkannya. Secara etimologis , Angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi Angklung merujuk nada yang pecah atau nada yang tidak lengkap.
Kini, Angklung telah menjadi alat musik internasional. Banyak Negara-negara lain mengembangkan angklung, dikarenakan beragam manfaat yang didapat. Filosofi angklung 5M (mudah, meriah, menarik, mendidik, massal) membuat angklung makin digemari di seluruh penjuru dunia. Pada jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan berlaraskan tritonik (tiga nada), tetra tonik (empat nada) dan penta tonik (5 nada). Angklung jenis ini seringkali disebut dengan istilah angklung buhun yang berarti “Angklung tua” yang belum terpengaruhi unsur-unsur dari luar. Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai beragam kegiatan upacara yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya: pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi dll.
Pada Tahun 1938, Daeng Soetigna, seorang guru Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, melakukan modernisasi alat musik angklung dari alat yang berskala tangga nada pentatonis (tangga nada tradisional) menjadi angklung kompleks yang berskala tangga nada diatonis (tangga nada modern). Angklung ini dapat memainkan lagu-lagu populer, musik nasional, dan lagu Barat maupun musik klasik. Disebut Angklung modern (diatonis) karena nadanadanya disesuaikan dengan skala nada diatonis, yaitu do – re – mi – fa – sol – la – si, dan angklung diatonis ini biasa disebut juga “Angklung Padaeng”, karena jasanya terhadap perkembangan Angklung dan pendidik musik. Angklung Modern (Padaeng) mulai diperkenalkan pada masyarakat internasional di tahun 1946 pada malam hiburan perundingan Linggar Jati. Tahun 1950 dan 1955, Angklung modern pun ditampilkan pada Konferensi Asia Afrika. Kini Angklung Modern (Padaeng) memiliki fungsi tambahan sebagai sarana pendidikan musik, karena Angklung dapat memupuk sifat kerjasama, disiplin, kercermatan, keterampilan dan rasa tanggungjawab. Demikian pula mengenai hal-hal yang merupakan dasar pokok dalam pendidikan musik, seperti membangkitkan perhatian terhadap musik, menghidupkan musik dan mengembangkan musikalitas, melodi, ritme dan harmoni. Atas pemikiran tersebut, maka pemerintah Indonesia melalui Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 182/1967 tertanggal 23 Agustus 1968 yang menyatakan Angklung sebagai alat pendidikan musik nasional.
Sejak tahun 1971, pemerintah Indonesia menjadikan Angklung sebagai sarana dalam program diplomasi budaya. Angklung sejak saat itu menyebar luas ke berbagai negara. Di Korea Selatan, hingga kini tercatat lebih dari 8.000 sekolah memainkan Angklung. Di Argentina, Angklung telah menjadi mata pelajaran intrakurikuler yang menarik bagi siswa, demikian pula di Skotlandia. Sejak tahun 2002, Departemen Luar Negeri Republik Indonesia telah memberikan kesempatan bagi siswa-siswi dari mancanegara untuk belajar dan mengenali Angklung di Indonesia. Kini Angklung tidak hanya menjadi alat musik kebanggan Indonesia, tetapi menjadi media untuk meningkatkan rasa persabatan antar bangsa di dunia.

Gamelan

Nama Beserta gambar Alat Musik Tradisional di Indonesia

Gamelan adalah ensembel musik yang biasanya menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Istilah gamelan merujuk pada instrumennya / alatnya, yang mana merupakan satu kesatuan utuh yang diwujudkan dan dibunyikan bersama. Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa gamel yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran an yang menjadikannya kata benda. Orkes gamelan kebanyakan terdapat di pulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok di Indonesia dalam berbagai jenis ukuran dan bentuk ensembel. Di Bali dan Lombok saat ini, dan di Jawa lewat abad ke-18, istilah gong lebih dianggap sinonim dengan gamelan.
Kemunculan gamelan didahului dengan budaya Hindu-Budha yang mendominasi Indonesia pada awal masa pencatatan sejarah, yang juga mewakili seni asli indonesia. Instrumennya dikembangkan hingga bentuknya sampai seperti sekarang ini pada zaman Kerajaan Majapahit. Dalam perbedaannya dengan musik India, satu-satunya dampak ke-India-an dalam musik gamelan adalah bagaimana cara menyanikannya. Dalam mitologi Jawa, gamelan dicipatakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka, dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana di gunung Mahendra di Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu). Sang Hyang Guru pertama-tama menciptakan gong untuk memanggil para dewa. Untuk pesan yang lebih spesifik kemudian menciptakan dua gong, lalu akhirnya terbentuk set gamelan.[rujukan?]
Gambaran tentang alat musik ensembel pertama ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah, yang telah berdiri sejak abad ke-8. Alat musik semisal suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, ditemukan dalam relief tersebut. Namun, sedikit ditemukan elemen alat musik logamnya. Bagaimanapun, relief tentang alat musik tersebut dikatakan sebagai asal mula gamelan.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu sléndro, pélog, “Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis, sama seperti skala minor asli yang banyak di pakai di Eropa.

Kendang




Kendang, kendhang, atau gendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa Tengah yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Instrument ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu.Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar. Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih. Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang berkarakter halus seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran ,ladrang irama tanggung. Untuk wayangan ada satu lagi kendhang yang khas yaitu kendhang kosek.
Kendang kebanyakan dimainkan oleh para pemain gamelan profesional, yang sudah lama menyelami budaya Jawa. Kendang kebanyakan di mainkan sesuai naluri pengendang, sehingga bila dimainkan oleh satu orang denga orang lain maka akan berbeda nuansanya.


Gong



Gong merupakan sebuah alat musik pukul yang terkenal di Asia Tenggara dan Asia Timur. Gong ini digunakan untuk alat musik tradisional. Saat ini tidak banyak lagi perajin gong seperti ini.
Gong yang telah ditempa belum dapat ditentukan nadanya. Nada gong baru terbentuk setelah dibilas dan dibersihkan. Apabila nadanya masih belum sesuai, gong dikerok sehingga lapisan perunggunya menjadi lebih tipis. Di Korea Selatan disebut juga Kkwaenggwari. Tetapi kkwaenggwari yang terbuat dari logam berwarna kuningan ini dimainkan dengan cara ditopang oleh kelima jari dan dimainkan dengan cara dipukul sebuah stik pendek. Cara memegang kkwaenggwari menggunakan lima jari ini ternyata memiliki kegunaan khusus, karena satu jari (telunjuk) bisa digunakan untuk meredam getaran gong dan mengurangi volume suara denting yang dihasilkan.

SARON

Saron atau yang biasanya disebut juga ricik ,adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya mempunyai 4 saron, dan semuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara saron 1 dan saron 2. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya. Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, ricik ditabuh dengan keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, ricik ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan.
Dalam memainkan saron, tangan kanan memukul wilahan / lembaran logam dengan tabuh, lalu tangan kiri memencet wilahan yang dipukul sebelumnya untuk menghilangkan dengungan yang tersisa dari pemukulan nada sebelumnya. Teknik ini disebut memathet (kata dasar: pathet = pencet).


KENONG

"Kenong" merupakan salah satu alat musik yang menyusun gamelan Jawa. Kenong termasuk dalam golongan pencon, yang termasuk di dalamnya juga gong, bonang, dan kethuk.

Kenong merupakan unsur instrumen pencon gamelan yang paling gemuk, dibandingkan dengan kempul dan gong yang walaupun besar namun berbentuk pipih. Kenong ini disusun pada pangkon berupa kayu keras yang dialasi dengan tali, sehingga pada saat dipukul kenong tidak akan bergoyang ke samping namun dapat bergoyang ke atas bawah, sehingga menghasilkan suara. Bentuk kenong yang besar menghasilkan suara yang rendah namun nyaring dengan timber yang khas (dalam telinga masyarakat Jawa ditangkap berbunyi ning-nong, sehingga dinamakan kenong). Dalam gamelan, suara kenong mengisi sela-sela antara kempul.

Notasi

Setiap pencon dari kenong memiliki satu nada, yang bervariasi antara 1 (ji) hingga 6 (nem)


BONANG PENERUS


Bonang Penerus adalah Bonang yang paling kecil, beroktaf tinggi. da teknik tabuhan pipilan, bonang panerus berkecepatan dua kali lipat dari pada bonang barung. Walaupun mengantisipasi nada-nada balungan, bonang panerus tidak berfungsi sebagai lagu tuntunan, karena kecepatan dan ketinggian wilayah nadanya. Dalam teknik tabuhan imbal-imbalan, bekerja sama dengan bonang barung, bonang panerus memainkan pola-pola lagu jalin menjalin.

Cara Main

Bonang Penerus cara memainkannya yaitu sama persis dengan Bonang Barung. Bonang Penerus hanya tinggal mengikuti kemana alur lagu dari Bonang Barung.



SLENTHEM

Slenthem merupakan salah satu instrumen gamelan yang terdiri dari lembaran lebar logam tipis yang diuntai dengan tali dan direntangkan di atas tabung-tabung dan menghasilkan dengungan rendah atau gema yang mengikuti nada saron, ricik, dan balungan bila ditabuh. Beberapa kalangan menamakannya sebagai gender penembung. Seperti halnya pada instrumen lain dalam satu set gamelan, slenthem tentunya memiliki versi slendro dan versi pelog. Wilahan Slenthem Pelog umumnya memiliki rentang nada C hingga B, sedangkan slenthem slendro memiliki rentang nada C, D, E, G, A, C'.

Cara memainkan

Cara menabuh slenthem sama seperti menabuh balungan, ricik, ataupun saron. Tangan kanan mengayunkan pemukulnya dan tangan kiri melakukan "patet", yaitu menahan getaran yang terjadi pada lembaran logam. Dalam menabuh slenthem lebih dibutuhkan naluri atau perasaan si penabuh untuk menghasilkan gema ataupun bentuk dengungan yang baik. Pada notasi C, D, E, G misalnya, gema yang dihasilkan saat menabuh nada C harus hilang tepat saat nada D ditabuh, dan begitu seterusnya.
Untuk tempo penabuhan, cara yang digunakan sama seperti halnya bila menggunakan balungan, ricik, dan saron. Namun untuk keadaan tertentu misalnya demung imbal, maka slenthem dimainkan untuk mengisi kekosongan antara nada balungan yang ditabuh lambat dengan menabuh dua kali lipat ketukan balungan. Atau bisa juga pada kondisi slenthem harus menabuh setengah kali ada balungan karena balungan sedang ditabuh cepat, misalnya ketika gendhing Gangsaran pada adegan perangan.


SITER DAN CELEMPUNG

Siter


CELEMPUNG

Siter dan celempung adalah alat musik petik di dalam gamelan Jawa. Ada hubungannya juga dengan kecapi di gamelan Sunda.
Siter dan celempung masing-masing memiliki 11 dan 13 pasang senar, direntang kedua sisinya di antara kotak resonator. Ciri khasnya satu senar disetel nada pelog dan senar lainnya dengan nada slendro. Umumnya sitar memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah kotak ketika dimainkan, sedangkan celempung panjangnya kira-kira 90 cm dan memiliki empat kaki, serta disetel satu oktaf di bawah siter. Siter dan celempung dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan bersama (panerusan), sebagai instrumen yang memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Baik siter maupun celempung dimainkan dengan kecepatan yang sama dengan gambang (temponya cepat).
Nama "siter" berasal dari Bahasa Belanda "citer", yang juga berhubungan dengan Bahasa Inggris "zither". "Celempung" berkaitan dengan bentuk musikal Sunda celempungan.
Senar siter dimainkan dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari tangan kiri berada di atas senar.
Siter dan celempung dengan berbagai ukuran adalah instrumen khas Gamelan Siteran, meskipun juga dipakai dalam berbagai jenis gamelan lain.

DEMUNG

Demung adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya terdapat 2 demung, keduanya memiliki versi pelog dan slendro. Demung menghasilkan nada dengan oktaf terendah dalam keluarga balungan, dengan ukuran fisik yang lebih besar. Demung memiliki wilahan yang relatif lebih tipis namun lebih lebar daripada wilahan saron, sehingga nada yang dihasilkannya lebih rendah. Tabuh demung biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu, lebih besar dan lebih berat daripada tabuh saron.
Cara menabuhnya ada yang biasa sesuai nada, nada yang imbal, atau menabuh bergantian antara demung 1 dan demung 2, menghasilkan jalinan nada yang bervariasi namun mengikuti pola tertentu. Cepat lambatnya dan keras lemahnya penabuhan tergantung pada komando dari kendang dan jenis gendhingnya. Pada gendhing Gangsaran yang menggambarkan kondisi peperangan misalnya, demung ditabuh dengan keras dan cepat. Pada gendhing Gati yang bernuansa militer, demung ditabuh lambat namun keras. Ketika mengiringi lagu ditabuh pelan. Ketika sedang dalam kondisi imbal, maka ditabuh cepat dan keras.

Demikian sedikit ulasan mengenai Rumah Adat, Pakaian Adat dan Alat Musik Tradisional Jawa Tengah semoga bermanfaat, dan terimakasih kepada penulis – penulis artikel yang ada diinternet.


No comments:

Post a Comment